Minggu, 03 Juli 2011

Wacana Media Massa: Pertarungan Ideologi - Hegemoni PENULIS (AG. Eka Wenats Wuryanta)

Abstraksi
Media discourse influences human being to formulate their view of world. The world-view in mass media is making to frame describing about what and how to understand the reality. Without clear and distinct view and frame, all the moments or realities seem to be chaotic. My main objective in this article is to give a selective account of previous work on media discourse. I discuss the following approaches in turn: possible relation between mass media, ideology and political economy analysis. The other discussion, I will attempt to reconsider all process in media discourse, especially most of my analysis is based on the critical theory perspectives.
PENDAHULUAN
Kajian ilmu komunikasi menjadi sangat menarik ketika komunikasi pada tingkat praksisnya menyentuh aspek kemanusiaan. Tentu saja, aspek kemanusiaan tersebut meliputi aspek sosial, ekonomi, politik, ideologi, psikologi dan kebudayaan manusia itu sendiri (Littlejohn, 2002).
Dalam proses perkembangan kebudayaan manusia, komunikasi massa menjadi proses komunikasi yang mempunyai tingkat pengaruh yang cukup signifikan pada kehidupan sehari-hari.
Berita, dalam konteks komunikasi massa yang berkembang sampai sekarang, selalu muncul dalam benak dan pikiran manusia. Berita yang disusun dalam benak manusia bukan merupakan peristiwa manusia. Berita bukan adalah peristiwa itu sendiri. Berita merupakan usaha rekonstruksi kerangka peristiwa yang terjadi. Maka, berita dalam konteks komunikasi massa, lebih merupakan inti yang disesuaikan dengan kerangka acuan yang dipertimbangkan agar peristiwa itu memiliki makna bagi para pembacanya (Wilbur Schramm, 1949).
Berita dalam kapasitasnya sebagai pembentuk dan dinamisator pengolahan interpretasi atas peristiwa manusia, menjadi hal yang sangat penting dalam proses pembentukan konstruk sosial. Berita, pada titik tertentu, sangat mempengaruhi manusia merumuskan pandangannya tentang dunia (Weltanschaung). Pandangan terhadap dunia adalah bingkai yang dibuat oleh manusia untuk menggambarkan tentang apa dan bagaimana dunia dipahami. Berbagai pengalaman hidup manusia dimaknai dalam bingkai tersebut. Tanpa adanya bingkai yang jelas, kejadian, peristiwa dan pengalaman manusia akan terlihat “kacau” dan chaos. Bingkai pengalaman dapat dilihat sebagai “skenario awal” yang memposisikan setiap pengalaman dan peristiwa dalam plot cerita yang kurang lebih runtut, rasional dan sistematis.

DISKUSI I: Relasi Ideologi, Media Massa dan Ekonomi Politik Media

Usaha untuk memahami proses relasional antara ideologi, media massa dan ekonomi politik media termasuk dalam kategori perspektif ekonomi politik. Vincent Mosco menyebutkan bahwa
”…Ekonomi politik komunikasi berupaya menjadikan media bukan sebagai pusat perhatian, dengan konsentrasi lebih diarahkan pada kajian mengenai keterkaitannya dengan ekonomi, politik dan faktor-faktor lainnya. Menjadikan media bukan sebagai pusat perhatian berarti memandang sistem komunikasi sebagai terintegrasi dengan proses ekonomi, politik, sosial, dan budaya fundamental dalam masyarakat.”
Dalam kajian media, perspektif ekonomi politik media merupakan bagian dari perspektif kritis selain cultural studies, teori kritis, feminisme, teori resepsi pesan, dan semiotika (Mohammadi & Mohammadi, 1990, hal. 15).
Pendekatan ekonomi politik merupakan sebuah kajian yang diidentifikasi sebagai kelompok pendekatan kritis (McQuail, 2000:82). Pendekatan ekonomi politik memfokuskan pada kajian utama tentang hubungan antara struktur ekonomi-politik, dinamika media, dan ideologi media itu sendiri.
Perhatian penelitian ekonomi politik diarahkan pada kepemilikan, kontrol serta kekuatan operasional pasar media. Dari titik pandang ini, institusi media massa dianggap sebagai sistem ekonomi yang berhubungan erat dengan sistem politik. Karakter utama pendekatan ekonomi politik adalah produksi media yang ditentukan oleh: pertukaran nilai isi media yang berbagai macam di bawah kondisi tekanan ekspansi pasar dan juga ditentukan kepentingan ekonomi-politik pemilik modal dan pembuat kebijakan media (Garnham dalam Mcquail, 2000:82). Berbagai kepentingan tersebut berkaitan dengan kebutuhan untuk memperoleh keuntungan, sebagai akibat dari adanya kecenderungan monopolistis dan proses integrasi, baik secara vertikal maupun horisontal.
Diskusi II: Perspektif Ekonomi Politik Dan Wacana Media
Menurut Mosco (1996), pengertian ekonomi politik bisa dibedakan dalam pengertian sempit dan luas. Dalam pengertian sempit berarti kajian relasi sosial, khususnya relasi kekuasaan, yang bersama-sama membentuk produksi, distribusi dan konsumsi sumber daya termasuk sumber daya komunikasi. Dalam pengertian luas kajian mengenai kontrol dan pertahanan kehidupan sosial. Dewasa ini ini setidaknya terdapat tiga konsep penting yang ditawarkan Mosco untuk mengaplikasian pendekatan ekonomi politik pada kajian komunikasi : komodifikasi (commodification); spasialisasi (spatialization); dan strukturasi (structuration).
Komodifikasi berkaitan dengan proses transformasi barang dan jasa dari nilai gunanya menjadi komoditas yang berorientasi pada nilai tukarnya di pasar. Proses transformasi dari nilai guna menjadi nilai tukar, dalam media massa selalu melibatkan para awak media, khalayak pembaca, pasar, dan negara apabila masing-masing di antaranya mempunyai kepentingan (Mosco, 1996). Nilai tambah produksi berita akan sangat ditentukan oleh kemampuan berita tersebut memenuhi kebutuhan sosial dan individual.
Spasialisasi berhubungan dengan proses pengatasan atau paling tepat dikatakan sebagai transformasi batasan ruang dan waktu dalam kehidupan sosial. Dapat dikatakan juga bahwa spasialisasi merupakan proses perpanjangan institusional media melalui bentuk korporasi dan besarnya badan usaha media (Mosco, 1996). Ukuran badan usaha media dapat bersifat horizontal maupun vertikal. Horizontal artinya bahwa bentuk badan usaha media tersebut adalah bentuk-bentuk konglomerasi, monopoli. Proses spasialisasi yang bersifat vertikal adalah proses integrasi antara induk perusahaan dan anak perusahaannya yang dilakukan dalam satu garis bisnis untuk memperoleh sinergi, terutama untuk memperoleh kontrol dalam produksi media.
Strukturasi berkaitan dengan hubungan antara gagasan agensi, proses sosial dan praktek sosial dalam analisa struktur. Strukturasi merupakan interaksi interdependensi antara agen dengan struktur sosial yang melingkupinya (Mosco, 1996).
Secara makro, Peter Golding dan Graham Murdock (dalam Curran dan Gurevitch, 1991:15 – 32) menunjukkan bahwa perspektif ekonomi politik komunikasi massa bisa dibedakan menjadi dua macam paradigma yaitu perspektif ekonomi politik dalam paradigma liberal; dan perspektif ekonomi politik dalam paradigma kritis.
Perspektif ekonomi politik liberal berpusat pada isu proses pertukaran pasar di mana individu sebagai konsumen mempunyai kebebasan untuk memilih komoditas-komoditas yang sedang berkompetisi berdasarkan manfaat dan kepuasan yang ditawarkannya. Semakin besar kekuatan pasar memainkan perannya, semakin besar kebebasan konsumen untuk menentukan pilihannya.
Mekanisme pasar itu, diatur oleh apa yang disebut Adam Smith sebagai “tangan tersembunyi” (the invisible hand theory). Media massa menurut pandangan liberal ini benar-benar dilihat sebagai sebuah produk kebudayaan yang harus diberikan kesempatan secara bebas dan luas untuk dimiliki oleh siapapun juga dan untuk berkompetisi secara bebas dalam pasar tersebut.
Varian ekonomi politik liberal merupakan aliran pemikiran yang memberikan penekanan pada peran media massa di dalam mempromosikan kebebasan untuk berbicara (freedom of speech). Pemikiran ini memiliki beberapa kriteria. Kriteria yang pertama adalah masyarakat dipahami sebagai kelompok-kelompok yang saling bersaing. Ini berarti kelompok yang berkuasa atau kelompok yang dominan tidak terdapat. Kriteria kedua adalah media dilihat sebagai sistem organisasi yang memiliki batas, mendapatkan otonomi dari negara, partai-partai politik serta kelompok penekan. Kriteria ketiga adalah kontrol media dimiliki oleh elit manajerial yang otonom, sehingga dapat menciptakan fleksibilitas terhadap profesional media. Kriteria keempat adalah hubungan antara institusi media dan khalayak bersifat simetris.
Dalam perspektif ekonomi politik kritis, perspektif ekonomi politik mengikuti Marx untuk memberikan perhatian pada pengorganisasin properti dan produksi pada industri budaya ataupun industri lainnya, bukannya pada proses pertukaran sebagaimana dilakukan liberalisme. Perspektif ini tidak mengabaikan pilihan-pilihan yang dibuat oleh produsen maupun konsumen industri budaya, akan tetapi apa yang dilakukan oleh produsen dan konsumen itu dilihat dalam struktur yang lebih luas lagi.
Golding dan Murdock menempatkan perspektif ekonomi politik media pada paradigma kritis. Golding dan Murdock berpendapat bahwa perspektif ekonomi politik kritis berbeda dengan arus utama dalam ilmu ekonomi dalam hal holisisme, keseimbangan antara usaha kapitalis dengan intervensi publik; dan keterkaitan dengan persoalan-persoalan moralitas seperti masalah keadilan, kesamaan, dan kebaikan publik (public goods).
Sifat holistik dalam perspektif ini (terutama dalam konteks analisa ekonomi politik kritis) merupakan satu dari beberapa pertimbangan yang dibuat dalam konteks perspektif ekonomi politik kritis. Holistik di sini berarti menunjukan adanya keterkaitan saling mempengaruhi antara organisasi ekonomi dan kehidupan politik, sosial, dan kultural. Analisisnya bersifat historis dan secara moral menunjukkan keterkaitannya dengan persoalan public good. Aspek historis dalam sifat holisme perspektif ekonomi politik kritis berpusat pada analisa pertumbuhan media, perluasan jaringan dan jangkauan perusahaan media, komodifikasi dan peran negara.
Analisa ekonomi politik kritis memperhatikan perluasan “dominasi” perusahaan media, baik melalui peningkatan kuantitas dan kualitas produksi budaya yang langsung dilindungi oleh pemilik modal. Tentu saja, ekstensifikasi dominasi media dikontrol melalui dominasi produksi isi media yang sejalan dengan preferensi pemilik modal. Proses komodifikasi media massa memperlihatkan dominasi peran kekuatan pasar (dalam penelitian ini terlihat faktor militer yang menentukan makna dan isi pasar). Proses komodifikasi justru menunjukkan menyempitnya ruang kebebasan bagi para konsumen media untuk memilih dan menyaring informasi.
Dalam konstatasi di atas, maka tidak mengherankan apabila peran media di sini justru menjadi alat legitimasi kepentingan kelas yang memiliki dan mengontrol media melalui produksi kesadaran dan laporan palsu tentang realitas objektif yang sudah bias karena dibutnuk oleh kelompok kepentingan baik secara politik maupun ekonomis. Perjuangan kelas biasanya didasarkan pada antagonisme ekonomi-politik. Posisi dan peran media adalah menutupi dan merepresentasi secara bias dan manipulatif antagonisme tersebut. Ideologi dimanfaatkan untuk menghapus dan mengeliminasi perjuangan kelas. Kontrol atas kelas dibuktikan dengan mencocokkan ideologi yang tersirat dalam pesan media dengan kepentingan kelas yang dominan.
Perspektif ekonomi politik kritis juga menganalisa secara penuh pada campur tangan publik sebagai proses legitimasi melalui ketidaksepakatan publik atas bentuk-bentuk yang harus diambil karena adanya usaha kaum kapitalis mempersempit ruang diskursus publik dan representasi. Dalam konteks ini dapat juga disebut adanya distorsi dan ketidakseimbangan antara masyarakat, pasar dan sistem yang ada.
Sedangkan kriteria-kriteria yang dimiliki oleh analisa ekonomi politik kritis terdiri dari tiga kriteria. Kriteria pertama adalah masyarakat kapitalis menjadi kelompok (kelas) yang mendominasi. Kedua, media dilihat sebagai bagian dari ideologis di mana di dalamnya kelas-kelas dalam masyarakat melakukan pertarungan, walaupun dalam konteks dominasi kelas-kelas tertentu. Kriteria terakhir, profesional media menikmati ilusi otonomi yang disosialisasikan ke dalam norma-norma budaya dominan.
Perspektif ekonomi-politik kritis memiliki tiga varian utama. Ketiga varian tersebut adalah instrumentalisme, kulturalisme, dan strukturalisme. Dalam penelitian ini, varian yang digunakan adalah perspektif instrumentalisme. Perspektif ini memberikan penekanan pada determinisme ekonomi, di mana segala sesuatu pada akhirnya akan dikaitkan secara langsung dengan kekuatan-kekuatan ekonomi. Perspektif ini melihat media sebagai instrumen dari kelas yang mendominasi. Dalam hal ini kapitalis dilihat sebagai pihak yang menggunakan kekuatan ekonominya - untuk kepentingan apapun - dalam sistem pasar komersial untuk memastikan bahwa arus informasi publik sesuai dengan kepentingannya.
Apabila mainstream ilmu ekonomi melihat persoalan ekonomi sebagai satu hal dominan yang terpisah dan khusus, maka perspektif ekonomi politik kritis melihat persoalan ekonomi itu berada dalam hubungan dengan kehidupan politik, sosial, dan budaya. Liberalisme menekankan pada kedaulatan dan kebebasan individual dalam kapitalisme, maka paradigma kritis memberikan penekanan pada relasi sosial (social relations) dan kekuasaan (power).
Diskusi III: Ekonomi-Politik Produksi Teks
Produksi makna dalam sebuah teks merupakan konsekuensi kekuasaan yang berdampak pada lingkup konsumsi budaya. Golding dan Murdock menyatakan bahwa ekonomi merupakan faktor penentu penting untuk praktek produksi teks media. Alasannya adalah bahwa ekonomi merupakan organisasi pembuat keuntungan dan institusi industri budaya yang sangat terbuka pada tekanan proses komodifikasi dan strukturasi, dan institusi yang punya pola kepemilikan yang khas. Luas dan besarnya kepemilikan media di tangan konglomerat atau pemegang kekuasaan secara tidak langsung telah membuat media menjadi lebih terintegrasi pada kepentingan pemilik serta memperdalam ikatan mereka dengan kepentingan kelas kapitalis.
Dalam perspektif ekonomi politik produksi tetap dibuka kemungkinan faktor instrumentalisme dan strukturalisme dalam analisa penelitian. Instrumentasime berpusat pada cara dan sarana kaum kapitalisme atau pemilik modal menggunakan kekuasaan ekonomi dengan sistem pasar komersial untuk menjamin arus informasi publik yang harmonis dengan kepentingan mereka. Akibatnya, kontradiksi di dalam sistem tersebut bisa dilupakan.
Posisi kaum instrumentalis menyatakan bahwa kepemilikan media secara privat merupakan instrumen dominasi kelas (Currant & Guravitch, ed,. 1991). Media berfungsi menggerakkan dukungan untuk kepentingan kelas yang berkuasa (Chomsky, 1988). Dengan demikian, terdapat lima saringan yang dilalui oleh pesan media. Pesan media melayani kekuasaan yang mapan, diproduksi oleh suatu industri atau institusi yang terkonsentrasi pada sejumlah besar korporasi, tergantung pada sumber ekonomi utama, tergantung pada pejaba pemerintah sebagai sumber, selalu ditekan oleh kelompok penekan dan diwarnai oleh ideologi tertentu (Herman & Chomsky, 1988; Downing, Mohammadi, 1990). Ketika sebuah media massa menawarkan pandangan yang kontra dan mempublikasikan skandal maka sebetulnya mereka menginginkan legitimasi mereka atau melegitimasi sistem kapitalisme secara keseluruhan dan melegitimasi sistem yang dianggap lawan.
Dengan menggunakan kekuasaan ekonomi dan sistem sosial yang mau ditawarkan, kelas dominan akan menangani lingkup wacana dan representasi. Penanganan lingkup wacana dan representasi ini bisa terwujud dalam bentuk perbaikan premis wacana, keputusan mana yang boleh dilihat dan dianggap penting oleh masyarakat umum dan menangani opini publik melalui propaganda.
Sebetulnya dalam konteks ekonomi politik media massa, terdapat pola kepemilikan media. Model pertama adalah model pola resmi, di mana media dikontrol negara. Model kedua adalah pola komersial, di mna media merefleksikan ideologi para pemegang modal. Model ketiga adalah pola kepentingan di mana media merefleksikan kepentingan partai politik dan kelompok keagamaan. Model keempat adalah pola informal di mana isi meida merefleksikan ide dan konsep kontributor media tersebut.
Diskusi IV: Ekonomi-Politik Konsumsi Teks
Wilayah ekonomi politik konsumsi teks adalah wilayah yang mau menggambarkan hubungan antara ketidakseimbangan antara materi dan budaya. Analisanya bersandar pada pandangan bahwa masyarakat berdaulat untuk mempunyai makna mereka sendiri dan interpretasi masalah yang begitu kompleks. Akan tetapi, kapasitas untuk mempunyai akses pada hasil dan fasilitas komunikasi sangat tergantung pada kemampuan tiap individu. Begitu juga dengan perubahan kondisi dan distribusi artifak budaya dari publik menjadi privat. Perubahan ini menandakan adanya perubahan substansial yang menyangkut kesempatan bagi kelompok yang berbeda dalam masyarakat untuk mempunyai akses terhadap artifak budaya tersebut (Currant & Guravitch,1991).
Teks media dikonsumsi dalam konteks wilayah privat. Teks juga dikonsumsi melalui berbagai respon dan interpretasi yang menghasilkan berbagai makna dari berbagai kategori dalam masyarakat. Dari aspek konsumsi teks, persoalan variabilitas praktek diskursif adalah tatanan wacana apa yang ditarik masyarakat dari teks media yang cocok ? Apakah mereka bicara tentang teks media dalam perwacanaan kehidupan privat atau dalam wilayah publik ? Faktor sosial apa yang relevan dengan pilihan tersebut ?

Diskusi IV: Wacana Media, Ideologi Dan Hegemoni
Dalam penjelasan sebelumnya, media selalu berhubungan dengan ideologi dan hegemoni. Hal ini berkaitan dengan cara bagaimana sebuah realitas wacana atau teks ditafsirkan dan dimaknai dengan cara pandang tertentu.
Pendapat Golding dan Murdock (Currant dan Guravitch ed., 1991) menunjukkan bahwa studi wacana media meliputi tiga wilayah kajian, yaitu teks itu sendiri, produksi dan konsumsi teks. Kerangka teoritis semacam ini adalah kerangka teoritis yang senada dikembangkan oleh Norman Fairclough. Perbedaan analisis Golding dan Murdock jika dibandingkan dengan analisis wacana kritis Norman Fairclough terletak pada wilayah analisis teks, produksi dan konsumsi sebagai kajian tersendiri. Fairclough mempunyai kerangka teks, praktek wacana dan praktek sosial budaya sebagai wilayah analisis kritisnya. Dari konteks perspektif analisis di atas maka teks ditafsirkan.
Wacana teks selalu melibatkan dengan apa yang disebut dengan alternasi atau peralihan timbal balik antara dua fokus kembar analisis wacana, yaitu kejadian komunikatif (teks, praktek wacana dan praktek sosial budaya) dengan tatanan wacana (genre dan jenis pewacanaan).
Kejadian komunikatif meliputi aspek teks, praktek wacana dan praktek sosial budaya. Wilayah teks media merupakan representasi yang berkaitan dengan realitas produksi dan konsumsi. Fairclough melihat bahwa wilayah teks merupakan wilayah analisis fungsi representasional-interpersonal teks dan tatanan wacana. Fungsi representasional teks menyatakan bahwa teks berkaitan dengan bagaimana kejadian, situasi, hubungan dan orang yang direpresentasikan dalam teks. Ini berarti bahwa teks media bukan hanya sebagai cermin realitas tapi juga membuat versi yang sesuai dengan posisi sosial, kepentingan dan sasaran yang memproduksi teks. Fungsi interpersonal adalah proses yang berlangsung secara simultan dalam teks.
Wacana untuk konsumsi publik bukan dilihat dalam keadaan mentah tapi sebaliknya wacana dalam konteks publik adalah wacana yang diorganisasi ulang dan dikontekstualisasikan agar sama dengan bentuk ekspresi tertentu yang sedang digunakan. Bentuk ekspresi teks tertentu mempunyai dampak besar atau apa yang terlihat, siapa yang melihat dan dari perspektif sudut pandang macam apa. Oleh sebab itu, wacana teks media juga membutuhkan analisis intertekstualitas. Analisis ini lebih ingin mengetahui hubungan antara teks dengan praktek wacana. Intertekstualitas ini bisa berproses dalam cara-cara pemaduan genre dan pewacanaan yang tersedia dalam tatanan wacana untuk produksi dan konsumsi teks. Selain itu, analisis ini juga ingin melihat cara transformasi dan relasi teks satu dengan teks yang lain. Dalam perspektif ekonomi politik kritis, analisis ini memperlihatkan proses komodifikasi dan strukturasi.
Pemaknaan dan makna tidak an sich ada dalam teks atau wacana itu sendiri (John Fiske, 1988:143-144). Hal ini bisa dijelaskan bahwa ketika kita membaca teks, maka makna tidak akan kita temukan dalam teks yang bersangkutan. Yang kita temukan adalah pesan dalam sebuah teks. Sebuah peristiwa yang direkam oleh media massa baru mendapat makna ketika peristiwa tersebut ditempatkan dalam identifikasi kultural di mana berita tersebut hadir. Peristiwa demi peristiwa diatur dan dikelola sedemikian rupa oleh para awak media, dalam hal ini oleh para wartawan. Itu berarti bahwa para awak media menempatkan peristiwa ke dalam peta makna. Identifikasi sosial, kategorisasi, dan kontekstualisasi dari peristiwa adalah proses penting di mana peristiwa itu dibuat bermakna bagi khalayak.
Maka tidak mengherankan bahwa para awak media dalam konteks pemberitaan teks media selalu memperhatikan aspek konsensus sosial. Meskipun demikian, pemahaman awak media terhadap suatu proses produksi media sangat dipengaruhi oleh proses pengolahan peta ideologi pada setiap awak media, dalam hal ini adalah wartawan.
Dalam konteks ini, menarik apabila menyimak pendapat Daniel Hallin mengenai peta ideologi dalam seluruh konstelasi pemahaman suatu teks. Dia berpendapat bahwa dunia jurnalis dibagi dalam tiga bidang ideologi, yaitu bidang penyimpangan, bidang kontroversi dan bidang konsensus. Bidang-bidang dalam pemetaan ideologis ini akan mempengaruhi bagaimana para awak media dan media massa membingkai dan menyeleksi suatu peristiwa untuk dijadikan berita media. Dalam konteks pemetaan ideologis tersebut juga dapat terlihat proses dinamika perilaku dan realitas yang sama bisa dijelaskan secara berbeda. Hal tersebut bisa dilakukan karena realitas yang sama tersebut dijelaskan dalam kerangka yang berbeda. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa makna diproduksi dalam situasi yang dinamis. Pembaca dan pembuat makna yang mencoba untuk memaknai suatu teks tertentu terjalin dalam lingkaran relasi dengan sistem nilai yang lebih besar. Sistem nilai yang lebih besar itu adalah ideologi.

Ideologi
Istilah ideologi sendiri adalah istilah yang banyak dipakai atau digunakan khususnya dalam lingkungan ilmu sosial. Hanya memang ironinya adalah terminologi ideologi menjadi istilah yang mempunyai ketidakjelasan arti. Hanya memang dalam perdebatan ilmu sosial kontemporer, debat ideologi banyak mengambil wacana yang dikembangkan oleh Gramsci. Gramsci menyatakan adanya 2 wilayah analisis yang bisa difungsikan sebagai sarana evaluatif hubungan antagonistik antara kaum borjuis dengan klas pekerja. Hubungan antagonistik klasik ini pada akhirnya menjadi penentu pandangan analisa kultur dan ideologi yang diletakkan dalam perspektif teori Marxis kritis. Tradisi awal Marxisme melihat bahwa hubungan kultural dan ideologi antara klas dominan dengan kelas subordinat bukan menjadi hal yang pokok. Tradisi Marxis awal lebih melihat perjuangan untuk “hegemoni” moral, kultur, intelektual dan kepemimpinan politik.
Secara umum dapat dikatakan bahwa ideologi mempunyai dua pengertian yang berbeda[1]. Pengertian dalam tataran positif menyatakan bahwa ideologi dipersepsikan sebagai realitas pandangan dunia (world-view, welttanschaung) yang menyatakan sistem nilai kelompok atau komunitas sosial tertentu untuk melegitimasikan kepentingannya. Sementara itu, pengertian dalam tataran negatif menyatakan bahwa ideologi dipersepsikan sebagai realitas kesadaran palsu. Dalam arti, bahwa ideologi merupakan sarana manipulatif dan deceptive pemahaman manusia mengenai ralitas sosial (Karl Mannheim, 1991).
Dalam perkembangan ilmu sosial, terminologi ideologi mengalami banyak pemaknaan. Tapi secara ringkas, ideologi dapat dilihat dalam tiga ranah acuan pokok. Pertama, ideologi sebagai realitas yang bermakna netral. Artinya, ideologi dimaknai sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai dan sikap dasar rohani suatu kelompok sosial dasn komunitas kebudayaan tertentu[2].
Kedua, ideologi sebagai kesadaran palsu (false consciousness). Pengertaian ideologi sebagai kesadaran palsu menyatakan bahwa ideologi merupakan sistem berpikir yang sudah terdistorsi, baik secara sengaja maupun tidak disengaja. Ideologi dalam pengertian ini adalah sarana kelas atau kelompok sosial tertentu untuk mensahkan atau melegimasikan asal-sumber dan praksis kekuasaaan secara tidak wajar[3]. Dalam pengertian ini, makna ideologi justru bernilai negatif. Artinya, ideologi merupakan perangkat claim yang tidak wajar atau sebuah teori yang tidak berorientasi pada nilai kebenaran[4], melainkan sudah mengambil sikap berpihak pada kepentingan tertentu.
Ketiga, ideologi sebagai sistem keyakinan yang tidak rasional. Artinya, bahwa ideologi merupakan hanya sekedar rangkaian sistem kepercayaan dan keyakinan subjektif (belief system). Konsekuensinya adalah ideologi tidak membuka kemungkinan pertanggungjawaban rasional dan objektif (Magnis, 1992:230-231).
Sementara itu, kita bisa melihat ideologi mempunyai tiga ragam perwujudannya. Pertama, ideologi dalam arti penuh. Ragam ideologi dalam arti penuh bermakna bawha ideologi merupakan ajaran, pandangan dunia, filsafat sejarah yang memerlukan tujuan-tujuan dan norma sosial politik - yang diklaim sebagai kebenaran mutlak yang tidak boleh dipertanyakan lagi serta sekaligus sudah mapan dan harus dituruti secara penuh-paripurna. Ideologi arti penuh berarti ideologi yane mempunyai status moral absolut dan menuntut ketaatan mutlak. Ragam ideologi tertutup ini diambil dari konsiderasi elit yang harus dipacu, dipropagandakan dan dipublikasikan (Franz Magnis, 2000: 232-235).
Ragam selanjutnya adalah ragam ideologi yang terbuka. Ideologi terbuka lebih merupakan cita-cita etika politik yang terbuka pada pluralitas operasionalisasi tindakan konkretnya. Justru cita-cita atau nilai tersebu menjamin kebebasan masyarakat untuk melaksanakan cita-cita tersebut. Dalam ideologi terbuka, cita-cita dilaksanakan tanpa ada paksaan.
Terakhir, ideologi implisit. Ideologi implisit adalah keyakinan atau sistem nilai hakikat realitas dan cara bertindak masyarakat yang tidak dirumuskan secara eksplisit. Meskipun implisit, ideologi tersebut diyakini dan diresapi dalam seluruh gaya hidup, merasa, berpikir bahkan bermasyarakat.
Tapi hal penting dalam pembahasan tulisan ini adalah konsep ideologi yang dikemukakan oleh Louis Althusser. Althusser melihat ideologi sebagai dialektika yang dicirikan dengan kekuasaan yang dominan (Eriyanto, 2001:98). Ideologi dalam perspektif ini dilihat secara lebih jauh. Ideologi dilihat sebagai praksis sosial. Argumentasi ideologi sebagai praksis di dasarkan pada asumsi bahwa negara mempunyai dua hakiki yang tidak terpisahkan, yaitu represif dan ideologis. Dua hakikat ini berkaitan erat dengan cara keberadaan negara sebagai alat perjuangan kelas[5].
Bahasan penting lainnya dalam tema ideologi Althusser adalah soal subjek. Ideologi membutuhkan subjek. Subjek membutuhkan ideologi. Ideologi merupakan hasil rumusan dari subjek-subjek tertentu. Keberlakuan nilai ideologi menuntut adanya subjek-subjek pelaku.
Tidak dapat dipungkiri bahwa ideologi menciptakan subjek. Artinya, bahwa ideologi menempatkan individu bukan hanya dalam posisi dalam relasi sosial tapi juga hubungan antara individu dengan relasi sosial tersebut (Diane Mac Donell, 1987:37). Dalam hal ini, Stuart Hal juga mencoba memberikan makna ideologi sebagai sebuah kesatuan interpertatif. Pertama, ideologi tidak terdiri dari konsep yang terpisah dan terisolasi secara sosial. Ideologi mengartikulasikan elemen atau unsur yang berbeda menuju perbedaan makna. Kedua, statuta ideologis selalu dibuat secara individual tapi ideologi sendiri tidak selalu produk kesadaran individual. Hal ini berarti bahwa ideologi sudah ada sebelum individu ada. Ideologi bersifat aktif dalam masyarakat. Proses transformasi ideologi merupakan proses kolektif. Proses ideologisasi lebih banyak berlangsung secara tidak sadar. Ketiga, ideologi bekrja melalui konstruk sosial untuk posisi subjek individual dan kolektif dari keseluruhan identifikasi dan pengetahuan yang ditransmisikan dalam nilai-nilai ideologis.
Diskusi V: Dominasi, Legitimasi Dan Hegemoni
Di atas dikatakan bahwa perspektif Althusser, ideologi merupakan dialektika yang dicirikan dengan kekuatan yang dominan dan legitim. Kata kunci dominasi dan legitimasi menjadi penting dalam pembahasan ini. Hal ini paralel dengan teori ideologi Althusser uyang menyatakan bagaimana kekuasaan dijalankan secara dominan dalam arti bahwa kekuasaan tertentu mampu mengontrol dan menguasai kelompok lain.
Pertimbangan pertama adalah pertimbangan nilai dominasi ideologis yang melahirkan, pada point tersebut, teori yang menyatakan realitas hegemoni. Dari sekian banyak teori hegemoni, teori hegemoni Antonio Gramsci mempunyai kedudukan yang penting. Gramsci membangun teori yang menyatakan bagaimana akseptasi kelompok yang didominasi oleh dan dengan keberadaan kelompok dominan. Proses akseptasi tersebut berlangsung dalam proses yang damai tanpa represi kekerasan. Atau dengan kata lain, hegemoni borjuis bukan melalui proses pemusnahan klas pekerja tapi melalui artikulasi budaya dan afiliasi ekonomi-politik masyarakat.
Ini berarti bahwa proses kekuasaan dan dominasi tidak hanya bersifat material tapi juga bersifat kultural[6]. Dominasi yang bersifat immaterial tersebut meliputi perluasan dan pelestarian “ketaatan sukarela” dari kelompok yang didominasi oleh kelas elit penguasa melalui pemanfaatan kekuasaan intelektual, moral dan politik. Melalui hegemoni, penyebaran (distribusi) ide, nilai, belief system, - dipenetrasikan secara “seakan-akan wajar”. Dalam arti tertentu, ideologi yang hegemonik mengandaikan percampuran dengan praksis sosial.
Oleh sebab itu, ideologi yang hegemonik selalu beroperasi dalam konsensus sosial. Dalam konteks ini, ideologi yang hegemonik merupakan dinamisasi penciptaan cara berpikir terhadap wacana tertentu sebagai sesuatu yang benar dan yang lain salah (Eriyanto, 103-108).
Dominasi dan hegemoni memerlukan pertimbangan kedua, yaitu legitimasi. Legitimasi adalah wewenang keabsahan individu atau kelompok tertentu memegang mandat kekuasaan. Keabsahan di sini selalu diartikan sebagai sifat normatif. Mempertanyakan keabsahan wewenang kekuasaan berarti memperbandingkan wewenang dengan norma. Apabila sesuai dengan norma yang berlaku, maka wewenang itu sah, apabil tidak, wewenang itu tidak sah.
Dalam paham umum legitimasi, legitimasi selalu mempunyai dua objek yang jelas, yaitu legitimasi materi wewenang kekuasaan dan legitimasi subjek wewenang. Legitimasi materi wewenang adalah keabsahan kewenangan dari segi fungsi. Legitimasi subjek wewenang adalah dasar absah wewenang individu atau kelompok untuk membuat dan melaksanakan wewenang kekuasaan. Legitimasi subjek wewenang terbagi dalam tiga ragam legitimasi, yaitu legitimasi religius, legitimasi eliter dan legitimasi demokratis.
Pada prinsip dalam konteks ideologi, dominasi dan kekuasaan maka legitimasi mempunyai tiga kriteria pokok. Kriteria pertama adalah legitimasi sosiologis. Legitimasi sosiologis adalah legitimasi mekanisme motivatif yang membuat masyarakat menerima wewenang penguasa atau elite dominatif. Kriteria kedua adalah kriteria legalitas. Kriteria legalitas adalah kriteria legitimasi kesesuaian kekuasaan dengan hukum yang disepakati dan berlaku. Kriteria ketiga adalah kriteria legitimasi etis. Kriteria ketiga ini mempersoalkan kewenangan dan keabsahan wewenang kekuasaan politik dari segi norma-norma moral. Kriteria ini muncul dalam dua konteks dasar, yaitu bahwa setiap tindakan negara harus dan dapat dipertanyakan dari norma-norma moral serta bahwa setiap tindakan kekuasaan negara selalu mempunyai dasar kekuasaan politik itu sendiri.
Ketika berbicara tentang konteks legitimasi, maka hal tersebut tidak bisa dipisahkan dengan pembahasan delegitimasi. Legitimasi dan delegitimasi merupakan aksi sosial kompleks yang bisa dilakukan serta dipertegas melalui percakapan atau teks. Konteks legitimasi dan legitimasi merupakan aktivitas diskursif dan dapat menunjukkan bahwa melalui kegiatan persuasi, suatu wacana dapat menghasilkan efek perubahan format perilaku dan ideologi dominan suatu kelompok tertentu. Dalam konstelasi semacam ini, maka wacana dapat dilihat sebagai medan konflik ideologi kelompok dominan dengan kelompok sub-dominan dalam suatu masyarakat. Setiap kelompok bersaing dan berlomba untuk memenangkan wacana, perspektif dan klaim kebenaran masing-masing. Dalam perlombaan semacam ini, strategi legitimasi dan delegitimasikan diimplementasikan dalam bentuk representasi diri positif dan representasi diri negatif.
Van Dijk pernah menyatakan bahwa delegitimasi dalam level wacana dilakukan ketika perangkat represif dan koersif tidak efektif meminggirkan wacana-wacana alternatif. Strategi delegitimasi dapat dilakukan dengan memakai beberapa cara.
Pertama, delegitimasi dilakukan dengan fokus konteks produksi, akses dan penggunaan wacana. Dalam perang wacana, kelompok dominan kerap kali mempraktekkan strategi ini dengan menggugat legitimasi kelompok sub-dominan serta menegasi peran-legalitas-latar belakang-pengetahuan dan visi anggota kelompok sub-dominan. Peran media dalam hal ini berfungsi untuk menghalangi akses kelompok delegitim ke media massa atau dengan merepresentasikan aktivis-aktivis perubahan sebagai sumber-sumber berita yang unreliabel
Kedua, delegitimasi juga dipraktekkan dengan fokus unsur-unsur negatif sebuah wacana, penekanan pelanggaran terhadap nilai umum, atau deskripsi negatif terhadap pihak tertentu. Dalam situasi semacam ini, merupakan sebuah kewajaran bahwa bila dalam domain berita politi, kelompok-kelompok sub-dominan (di luar sistem) tidak pernah akan dibiarkan mendominasi sumber pemberitaan dan wacana berita yang terbentuk.
Ketiga, delegitimasi juga dapat ditempatkan pada isu kemungkinan-kemungkinan efek wacana. Dapat saja proses delegitimasi dilakukan dengan penayangan posisi berita di halaman depan, sisi halaman yang tidak menarik, menghambat proses produksi wacana, mempersulit distribusi media dan lain-lainnya.
Strategi legitimasi dan delegitimasi akan sangat efektif bila mampu berasosiasi dengan akal sehat, norma dan ideologi yang berlaku secara umum. Wajar apabila dalam kepentingan ini, kelompok dominan cenderung mengontrol institusi yang mempunyai akses terhadap ilmu pengetahuan dan opini publik. Institusi ilmu pengetahuan dan opini publik mempunyai otoritas yang kuat bahkan dapat disebut sebagai pusat “klaim kebenaran”. Klaim kebenaran bukan semata-mata karena mereka mempunyai akses utama terhadap media massa atau wacana publik, tapi semata-mata karena institusi tersebut mempunyai hasil atau produk yang incontrovertible, dapat diandalkan, dan ilmiah.
Diskusi VI: Media Massa - Ideologi Dan Hegemoni
Setelah kita membahas beberapa kata kunci, terutama sosial ideologi, legitimasi dan hegemoni, ada baiknya kalau dalam bagian ini bahasan mulai mencoba mencari kaitan antara ideologi-hegemoni dengan media massa.
Hubungan pertama yang perlu dijelaskan adalah kaitan antara media massa dengan ideologi (perspektif Althusser). Althusser menyatakan bahwa media dalam konteks ideologi modern akan banyak berperan sebagai ideological state apparatus. Media dalam konteks pembicaraan ini bisa menjadi alat efektif persuasi dan propaganda yang melegitimasikan fungsi dan praksis ideologis tertentu. Media masa mempunyai kapasitas persuasi dan propaganda serta didukung dengan modal serta aparat legal negara. Dengan demikian, media massa berfungsi sebagai ranah dan dasar pembenar praktek represi yang dilakukan negara kepada para warganya. Hal ini berarti juga bahwa media massa secara langsung maupun tidak langsung, mampu mendorong penguatan, akselerasi distribusi, penetrasi nilai ideologi dominan terhadap kelompok sosial yang didominasi.
Hubungan kedua adalah bahwa media massa mampun melakukan proses interpelasi ideologi. Proses interpelasi dalam dunika komunikasi menyatakan bahwa seluruh tindakan komunikasi adalah tindak penyapaan. Praksis penyapaan mengandung usaha penempatan individu dalam posisi dan relasi sosial tertentu. Hal ini juga termuat dan terintegrasi dalam seluruh proses ideologisasi.
Hubungan ketiga adalah media massa atau teks media mampu menjadi instrumen efektif-efisien bagaimana nilai atau wacana dominan didistribusikan dan dipenetrasikan dalam benak orang sehingga bisa menjadi konsensus kolektif. Proses hegemoni yang ditawarkan dalam produksi berita menjadi pola yang halus dan sering tidak disadari oleh para konsumennya. Dalam proses produksi media massa, proses hegemoni ideologi bisa berjalan seakan-akan wajar karena nilai-nilai tersebut tersamar dalam opini, teks berita yang dibuat secara logis, rasional dan sistematis.
Hubungan keempat dalam perkembangan media modern, media justru juga mempunyai ideologi dan praksis hegemoni. Proses ekonomi politik yang terdapat daslam pola produksi, konsumsi dan distribusi media baru merupakan bagian yang integral. Nilai subjek dan lingkungan mampu dijadikan komoditas baru. Proses komodifikasi subjek - objek realitas telah menciptakan ideologi dan hegemoni baru di mana media massa justru menjadi kelompok dominan di luar kekuasaan politik negara atau ekonomi pasar.

Diskusi Wasana: PANDANGAN KRITIS: Eksistensi dan Fungsi Media Massa - Wacana Media
Ada beberapa pandangan krusial yang dikemukakan oleh paradigma kritis tentang keberadaan dan fungsi media serta wacana media yang ada. Ini berarti bahwa paradigma kritis mempunyai pandangan tersendiri mengenai sumber bagaimana media berproduksi, posisi media, wartawan yang menghasilkan liputan, khususnya dalam konteks struktur makro sosial yang ada.
Setidaknya ada beberapa titik kritis dalam hal ini yang bisa diungkapkan. Titik kritis pertama adalah soal pemahaman tentang fakta yang diangkat oleh media atau teks berita yang ada. Fakta yang diangkat oleh media lebih banyak dipahami sebagai fakta semu. Maka dapat dikatakan berita lebih merupakan ranah pergulatan wacana antara berbagai ideologi wartawan atau media. Set fakta yang dibuat dalam media massa lebih merupakan area konfliktual kepentingan sosial.
Titik kritis kedua adalah posisi media itu sendiri. Titik kritis ini mau mengatakan bahwa media adalah instrumen elit untuk menyebarkan ideologi dominan (David Barrat, 1994: 48-52). Media dan berita media massa adalah subjek yang mengkonstruksi realitas melalui simbol dan pemaknaan yang dibuat oleh media massa, lengkap dengan pandangan, bias dan keberpihakannya. Titik krusial lainnya untuk memahami posisi media adalah soal politik simbol dan pemaknaan yang dibuatnya. Makna tidak dipengaruhi oleh struktur tapi lebih banyak dibentuk oleh praksis pemaknaan yang ada dalam masyarakat. Media massa menentukan definisi realitas melalui pemilihan simbol dan bahasa yang tepat. Masalah penting yang ditemukan oleh paradigma kritis dalam konteks ini adalah siapa yang memegang kendali dalam proses definisi dan pemaknaan realitas yang dilakukan oleh media massa ? Dalam struktur sosial, kelompok mana yang lebih banyak diuntungkan dalam proses pemaknaan dominan yang terjadi ? Siapa yang mendefinisikan apa ? Kelompok mana yang terus menerus menjadi objek penderita dalam proses pemaknaan seperti itu ?
Titik krusial lainnya, menurut paradigma kritis dalam konteks penelitian yang akan dilakukan, adalah posisi wartawan. Wartawan tetap saja menjadi partisipan dari kelompok yang ada dalam masyarakat. Wartawan mempunyai latar belakang sosial ideologi, nilai politik yang akhirnya mempengaruhi bagaimana ia menghasilkan, memilih simbol dalam seluruh pemberitaannya. Wartawan dan profesionalisme wartawan tidak dapat melepaskan diri dari proses praksis kelas. Dengan demikian, proses dan kerja media tidak didasarkan oleh dasar profesionalisme “objektif” tapi lebih meletakkan pada landasan ideologi dan hegemoni yang terjadi. Profesionalisme merupakan bagian yang integral dari kontrol kelas. Kebebasan media lebih merupakan rangkaian kontrol dan konsep kelas yang telah dibuat oleh elit dominan.
Terakhir adalah titik krusial tentang hasil liputan. Persoalan liputan yang objektif selalu menjadi masalah. Paradigma kritis melihat bahwa bukan objektivitas berita yang seharusnya dicari. Persoalannya adalah apakah media atau berita yang diproduksi itu mengandung bias atau tidak. Persoalan lainnya adalah bahwa kenyataan wartawan merupakan bagian kecil dari seluruh struktur sosial yang lebih besar. Permasalahannya bukan terletak pada hasil liputan atau sang wartawan itu sendiri, melainkan bahwa struktur sosial di luar wartawan begitu kuat mempengaruhi seluruh isi berita media massa (James. V. Carey,1982:24).
DAFTAR REFERENSI
Bignell, Jonathan. 2001. Media Semiotics, An Introduction. Manchaster University Press:London
Curran, James and Michael Gurevitch. 1991. Mass Media and Society . Edward Arnold:London
Curran, James and Richard Collins, 1986. Media, Culture and Society: A Critical Reader. Sage Publication:London
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisa Teks Media. LKIS:Yogyakarta
Eriyanto, 2002, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik Media. LKIS:Yogyakarta
Fairclough, Norman. 1998. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. Longman:London
Fairclough, Norman. 1995. Media Discourse. Edward Arnold:New York
Fiske, John. 1982. Introduction of Communication Studies. Routledge:London
Hall, Stuart. 1992. Culture, Media dan Language. Routledge:London
Hardiman, Budi Francisco, 1990. Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan. Kanisius:Yogyakarta
Kolakowski, Leszek. 1978. Main Currents of Marxisme III. Clarendon Press:Oxford
Littlejohn, Stephen. 2002. Theories of Human Communication. Wadsworth Publishing Company:California
Magnis-Suseno, Franz. 1992. Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Kanisius:Yogyakarta
____________________. 1991. Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral dan Dasar Kenegaraan modern. Gramedia:Jakarta
Mannheim, Karl. 1979. Ideologi dan Utopia. An Introduction to the Sociology of Knowledge. Routledge:London
Mcdonnell, Diane. 1986. Theories of Discourse: An Introduction. Basil Blackwall:Oxford
Mills, Sara. 1991. Discourse. Routledge:London
Mosco, Vincent. 1996. The Political Economy of Communication. Sage Publication:New York
Raboy, Marc dan Bernard Dagenais (eds). 1995. Media, Crisis and Democracy: Mass Communication and the Disruption of Social Order. Sage Publication:London
Reese, Stephen D,. 2001. Framing Public Life. Lawrence Earlbaum Publisher:New Jersey
Riggins, Stephen H,. 1997. The Language and Politics of Exclusion: Others in Discourse. Sage Publication:London
Saverin, Werner. 1997. Communication Theories: Origins, Methods and Uses in the Mass Media. Longman:New York
Shoemaker, Pamela cs (eds). 1991. Mediating The Message: Theories of Influences on Mass Media Content. Longman Group:London
Sobur, Alex. 2001. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. PT. Remaja Rosdakarya:Bandung
____________, 2003. Semiotika Komunikasi. PT. Remaja Rosdakarya:Bandung



Sabtu, 04 Juni 2011

“DIPLOMASI DAN NEGOISASI”






1.     ASPEK DARI METODE  DIPLOMASI YANG LAZIM DI - PERGUNAKAN DALAM PRAKTEK DIPLOMASI DIDUNIA. ?


      Pada tataran praktis diplomasi berkaitan dengan aspek aspek  jangka pendek dan hal hal yang rutin, seperti kerja sama Bilateral (Dua Negara) dan Multilateral (Banyak Negara), serta pelaku pelaku lainnya yaitu, berupa : Kordinasi, Konsultasi, Lobbying, melakukan penyesuaian jadwal kunjungan resmi Presiden dan kunjungan Pribadi seorang Mentri Luar Negeri (Kedubes- Protocoler Sistem), Politisi, Ngo, Pertukaran Pemuda antar negara, misalnya “ Indonesia dengan Jerman, Kanada, India, Spanyol, Jepang, Rusia, Mesir, saudi arabia dsbg. Dan dewasa ini, aspek aspek Diplomasi dan Promosi  saling berkaitan erat.
      Aspek aspek yang lazim dilakukan dalam metode Diplomasi selalu berhubungn dan didominasi oleh masalah Keuangan (pada IMF, World Bank), Ekonomi (AFTA, GTT,)  Masalah Masalah Sumber Daya (APEC, OPEC ), dan Tourisme (Promosi Wisatawan Manca negara ke Pulau Bali, Tugu Monas, Jam Gadang Bukit tinggi, wisata bawah laut Bunaken, dll), dan juga MANAGEMEN ANCAMAN SEPERTI TERORISME  Misalnya (Fenomena Terorisme Jamaah Islamiyah di-Indonesia pada ledakkan BOM J Marriot, Bom Bali I, Dan II, kasus Abu bakar Ba’asyir di Aceh (pelatihan Perang/JIhad, Kelompok JI Asia tenggara, yang melibatkan Dulmatin, Dr Azhari, Imam Samudra, ali Muhlas, ect, menjadi Sebuah ancaman bagi Keamanan Capital/saham Amerika/Ingrish Di Indonesia dilain pihak Islam Dituding sebagai Terorist dan satu lagi makna jihad selalu kontroversial’ dalam kajian Negara dan ISLAM Itu sendiri), kebijakan luar negeri (Non-Blok, KTT Asia Africa, G-8) Pertahanan dan keamanan sebuah negara (Kerja sama Indonesia dengan Rusia pada pembelian Sukhoi oleh Presiden Megawati Soekarno Putri) , Latihan perang bersama (Korea Selatan Dengan Amerika- pada ancaman konflik perbatasan di semenanjung korea, dengan korea utara, Konflik Jalur Gaza, Israel vs Palestina, dalam sekutu Amerika) ,NATO pada Penyerangan ) dan lainnya. Diantara aspek aspeck diatas metode diplomasi pada kegiatan yang luas ialah, diplomasi Oil, diplomasi Sumber Daya Alam( Resource diplomacy), Tata Pemerintahan Global (Global Governance), Diplomasi Hijau (Green Diplomacy)
      Metode Diplomasi pada fungsi nya secara subtansi yaitu memberikan masukkan, membentuk dan melaksanakan kebijakan Luar negeri dalam tinjauan perspectif negara, dalam paradigm pelaku pelaku lain diluar negara juga terjadi namun masih sifatnya masif /terbatas misalnya kunjungan diplomasi Hasan tiro, Xanana Gusmau ke Helsinki dua tahun lalu itu (sebelum dis-integrasi), namun persoalan metode diplomasi tetap pada metode tradisional yaitu hal hal yang di rumuskan pada perwakilan sebuah negara (duta besar) di suatu negara. Kedutaan besar pada tradisinya berfungsi untuk melakukan identifikasi mengenai masalah masalah penting baik dalam negeri maupun luar negeri, berbarengan dengan telaah terhadap implikasinya, dalam rangka memberikan nasehat tersebut ataupun memperingati negara asal dari kedutaan tersebut. Misalnya Konflik Timur tengah di gaza, pada penyerangan Invasi Israel 2010/2011 dalam menambah wilayah perbatasan dengan Palestina, yang menuai kritik keras dunia islm di dunia melalui aksi pembakaran bendera Israel dan Amerika di kedubes Israel /USA DI jakarta pada 2010 yang lalu, selanjutnya adalah kebijakan NATO Pada embargo terhadap Iran, karena membangkang dari Amerika atau dewan keamanan PBB Terkait - Kimia Nuklir Ahmahdinejad tersebut- yang akan menyerang negara Sunni tersebut. Dan juga studi invasi Amerika Ke Iraq merupakan sebuah Skenario Propaganda yang dilakukan oleh staf ahli Kimia iraq yang mengunjungi Amerika Latin, untuk bertemu dengan amerika dalam membuat propaganda bahwa Irak memiliki senjata Pembunuh massal, yang di respon Darurat Satu oleh Collin Powel/Mentri Pertahanan Amerika itu. Sehingga dinasti Saddam Husein dan keluarganya pun hancur dan dibunuh.
      Dan kasus yang hampir mirip terjadi di Indonesia ialah persoalan Reformasi DI tubuh PSSI- yang menjadi persoalan hangat dunia Federasi Sepak boLa Dunia (FIFA) – Terkait ikut campurnya Andi Malaranggeng sebagai Mempora, terkait aksi penolakkan terhadap Nurdin Halid. Dan juga pembentukkan Tim Normalisasi PSSI Oleh FIFA. (Pelaku pelaku diplomasi diluar Konstelasi negara- tradisional metode).
      Dan selanjutnya kasus yang hangat di Indonesia dibincangkan adalah ketika wikileaks membongkar keikut sertaan Presiden SBY melindungi aktor aktor Koruptor di Indonesia, dan mata Mata Intelegen Negara Mengawasi Kunjungan Yusril Ihza Mahendra Ke Singgapura.
Dan pada aspec pemilihan Metode diplomasi umumnya dipengaruhi oleh satu atau dua faktor, antara lain : Bentuk, masalah kaitan organisasi dan kapasitas regime atau diplomasi itu sendiri. Dalam kajian metode bentuk atau form merupakan suatu kerangka yang sangat disukai dalam tradisi negara, dan aktor aktor lainnya ketika melaksanakan hubungan eksternalnya, baik dalam diplomasi bilateral maupun Multilateral, lintas nasional, transnasional ( Ngo, terbuka, swasta, dan Rahasia)

2.      JUSTIFIKASI NATO TERHADAP AKSI AKSI MILITER TERHADAP NEGARA MERDEKA DAN BERDAULAT SEPERTI LIBYA DI BAWAH KEPEMIMPINAN MOAMMAR  KHADAFI... ?



      Pemerintahan “OTORITER’ Moammar Khadafi adalah pemicu serangkaian aksi aksi yang hampir sama terjadi di Mesir, Yaman, Saudi arabia dan laninya oleh rakyat yang tidak senang adanya obsolut kekuasaan, lembaran demokrasi yang tertutup rapat, ketidak adilan, kesejahteraan rakyat, bahkan Perbudakkan merupakan  Bentuk bentuk kekuasaan/Rezim Muammar Khadafi yang tidak mendengarkan aspirasi dan Suara-Perubahan dalam revolusi itu, bumi di Tripoly Bergejolak bagai detak bom waktu yang memakan Ribuan Nyawa, dalam aksi aksi Militerisme sebagai perpanjangan kekuasaan Khadafi, yang  menghalalkan berbagai cara, dalam mempertahankan kekuasaan otoriternya.  Kekuasaan yang menjadikan Khadafi, sebagai Raja semakin congkak diatas  singgasana rakyat itu,  telah menyita perhatian dunia internasional dan Resolusi Dewan keamanan PBB. Tragedi kemanusian, dan hak azazi Manusia yang terjadi di Libya dibawah kekuasaan rezim Muammar khadafi, atas meninggalnya ribuan rakyat dalam  (kelompok oposisi) yang meminta Revolusi agar terbukanya kran demokrasi menjadikan Libya menjadi persoalan Utama  United Nation Organization “UNO” / PBB yang tertuang Dalam Piagam PBB Human of Right akan perlindungan Hak azazi manusia, yang dibunuh secara tidak berkemanusian, dalam penghalal-lan kedigdayaan Rezim, dengan Motif/alasan inilah, BAO KI MOON – selaku Sekjend PBB datang ke Tripoli – Libya, yang secara spontanitas tidak di inginkan oleh Khadafi, dan Boo ki moon pun di hadang oleh ratusan demontran pro Khadafi waktu itu, agar ki moon tidak ikut campur dalam masalah Libya. Boo ki moon yang menginginkan bertemu dan melakukan dialog dengan khadafi pun akhirnya mentok, dan dilakukannya rapat dewan keamanan PBB yang menghasilkan voting 4 suara, setelah Cina dan Rusia abstein untuk melakukan penyerangan terhadap Libya.- otoriter rezim khadafi.  
      Dibalik itu, kepentingan Amerika dan NATO terhadap Oil /Minyak Libya cukup Siknifikant, ruang invasi baru terhadap Sumber Daya Alam Libya tersebut akan membuka kran-kran Oil Diplomasi ketika Justifikasi Resolusi PBB itu telah menguasai Libya nantinya, karna kita ketahui Libya Adalah negara terkaya akan Pasokkan Minyak di Afrika dan dunia. Ketika metode ini kita telaah dan identifikasi maka akan terbuka sebuah ilustrasi demografis oil Libya secara konkrit oleh Amerika. Itikat justifikasi Resolusi Dewan Keamanan PBB akan membawa sebuah Mission menuju penguasaan sumber daya alam/Minyak Minyak Libya. 
      Dan persoalan di Libya telah menemukan ritme bentuknya dalam tiga pointer, bela negara dari kolonialisme/Imprealisme, disisi lain pemberontakkan gencar menjadi dua arah perang saudara antara Militer, Pro Khadafi, dan rakyat Libya sebagai Oposan.

3.     STUDI KASUS TINDAK KEKERASAN YANG DIALAMI TKW- INDONESIA DI LUAR NEGERI, DAN DIPLOMASI SERTA PEMECAHAN MASALAH YANG DILAKUKAN INDONESIA DALAM  MEMASTIKAN  TIDAK ADANYA KEKERASAN ADALAH  SBB :

            Beranjak dari Mimpi buruk yang selalu menjadi ancaman kekerasan diluar batas kemanusian bagi TKI/ TKW Kita di luar negeri, seperti kita liat persoalan Siti Hajar, Suminah, dan Tenaga kerja Wanita lainnya di Malaysia, Saudi arabia, disiram dengan air Panas muka dan sekujur tubuhnya oleh majikannya, serta diserika tubuhnya, tidak terjaminnya Gaji- serta kepastian mereka bekerja karena Lemahnya peran KEDUBES – pelaku Diplomasi yang hanya bisa berethorika di atas meja-kursi Empuk Konsulat tersebut, disisi lain Pendidikan dan keahlian Menjadi cacatan penting bagi TKW- TKW kita di luar negeri. Hal ini telah menjadi persoalan utama bagi pemerintah Indonesia ini, untuk menelaah dan mengidentifikasi langkah langkah objektif dan konrehensif dalam melakukan Kebijakan oleh Pemerintah baik itu Duta Besar indonesia di Malaysia “ (UST’ Dai Bahtiar Cs), dan Unsur unnsur Pelaku pelaku Diplomasi itu sendiri, menurut saya ada beberapa tatanan Kontrak kerja yang memberikan jaminan bagi tenaga kerja wanita itu oleh Pemerintah Indonesia secara utuh dan memiliki Nota Legal Hukum bagi negara ditempat mereka bekerja ( MOU) dengan pihak Diraja Malaysia misalnya begitu juga dengan saudi dan lainnnya,  itu pertama, dan yang  Kedua : Perusahaan yang memperkerjakan TKW /TKI harus mampu membuat legal Opion yang dapat di bawa menjadi kekuatan hukum bagi kepolisian diraja malaysia, melalui  lembaga pemberi jaminan dari (PERUSAHAAN CAPITAL) yang menampung tenaga Kerja Pembantu yang  menjadi ancaman keseriusan pada kekerasan itu harus terkoneksi dan ter indetifikasi data –data entrinya bagi Perusahaan dan Pihak Hukum di Malaysia.  (terutama pihak KEDUBES).
Dan Ketiga yang seharusnya dilakukan oleh Duta Besar Indonesia di Malaysia, adalah Menampung sejumlah Persoalan yang menjadi permasalahan TKW di luar negeri itu, dan menciptakan diplomasi dan Suaka suaka Hukum dan jaminan secara rel dan konkrit yang terjadi  secara cepat, dan setiap Tiga Bulan sekali haraus mampu melakukan Investigasi/identifikasi yang Menekan Pihak Perusahaan nota- jaminan bagi TKW kita di Luar Negri.
Ke empat : Evaluasi Bentuk dan Ritme baru dalam skema diplomasi baru, yang melibatkan hubungan Bilateral kedua negara dalam bidang Perdagangan dan jasa, Investasi,  Pemberian Legal Hukum dan jaminan sosial tenaga kerja, antara Mentri Tenaga Kerja Indonesia, Kedubes Indonesia, Dengan pelaku diplomasi Malaysia  harus mempunyai Mou terapan yang setiap 2 kali dalam satu tahun punya Evaluasi Evaluasi Mendasar./ pelepasan kontrak ke Majikan/perusahaan di Malaysia.
Kelima : Persoalan pemberian Otoritas hukum berdasarkan budaya kerja di Luar negeri, harus dikomlikasikan dengan baik dan tertata oleh Pihak CAPITAL- dengan KEDUBES, misalnya tingkat keahlian, pendidikan, serta bentuk pekerjaan yang harus menjadi acuan dasar agar kekerasan itu tidak terjadi lagi.
Ke enam : Indonesia harus mampu menciptakan lapangan kerja sendiri bagi kelompok Ibu-ibu rumah yang tidak memiliki keahlian secara khusus. Karna ratusan/ Ribuan TKW yang tidak terkontrol lagi oleh kedubes menjadi pemicu persoalan diluar negeri. Dilain pihak seperti di Uni emirat arab, saudi dan lainnya, mereka terancam secara nyata. Dan pemulangannya pun tidak memiliki kepastian dan jaminan hidup oleh Pemerintah Indonesia Atau Kedubes. Itulah kasat kusutnya Persoalan yang tidak dapat secara utuh diselesaikan oleh Kedebus. Karna sepatuh hati, dan keterbatasan –demi keterbatasan dari semua bentuk.
Sementara PRESIDEN SBY dan Militernya serta pelaku diplomasi lainnya tidak mau tau totality akan Ritme diplomasi itu bagi TKW- Indonesia persoalan TKW  berparadoksi bahkan MEMALUKAN Bagi Presiden SBY dalam konstelasi memanasnya hubungan malaysia dengan Indonesia dekade ini. Sehingga (Negoisasi) hanya tawaran  kelemahan dalam ber- Diplomasi bagi Indonesia ketika berhadapan dengan Malaysia, terbuka lebarnya ruang ruang harga tawar yang membunuh diri secara fakta yang terjadi. Hingga Malaysia semakin Meraja lela, bahkan Investasi nya pun pada Sumber daya alam di Indonesia cukup siknifikan, artinya Indonesia takut, dan gagal menjadi bangsa yang besar dalam menciptakan, mensejahterakan rakyat, serta membentuk peluang peluang kerja bagi TKW Indonesi itu sendiri. Selanjutnya Klaim klaim Budaya yang diambil alihkan dalam metode budaya malaysia juga faktor kesenjangan hubungan Indonesia dengan Malaysia secara Umum. Bahkan persoalan Perebutan pulau seperti ligitan, dan lainnya semakin meruncinngkan hubungan bilateral yang tidak akur antara kedua negara. “Bisa –bisa perang Militer akan menjadi solusi terakhir.
Lalu  yang selalu menjadi Korban politic dan hak azazi manusia dari konstelasi ini adalah Ribuan TKI- di Malaysia pada kelompok Pekerja Pembantu dsbg.  
Perlu disadari KATA KATA GANYANG MALAYSIA dalam beberapa aksi Dari sejarah Bung Karno semakin di kumandangkan Indonesia pada era kekinian ini, akan selalu dijepit secara memalukan oleh Malaysia, karena ini akan dijadikan tawanan politic, dan kunci tidak ada kukunya Indonesia di asia tenggara, dan ketika berhadapan dengan Malaysia. Intinya adalah “ Pemerintah harus fokuskan diri pada jalur jalur Identifikasi dan negoisasi seperti diatas. 

ASUMSI – ASUMSI PERSPEKTIF ORGANISASI



BAB I
ASUMSI – ASUMSI  PERSPEKTIF ORGANISASI

            Dalam kajian Stephen W Littlejohn memberikan satu bentuk metafora lain yang mengibaratkan bahwa organisasi adalah sebagai sebuah jaringan (Organizational Network). Jaringan adalah struktur-struktur sosial yang diciptakan melalui komunikasi di antara individu-individu dan kelompok-kelompok. Sewaktu orang berkomunikasi dengan orang lain, sebenarnya ia sedang membuat kontak-kontak dan pola-pola hubungan dan saluran-saluran ini menjadi instrumen dalam semua bentuk fungsi sosial, dalam organisasi-organisasi dan dimasyarakat luas. Organisasi dipahami mampu membangun realita sosial. Jaringan adalah saluran-saluran melalui mana pengaruh dan kekuasaan dijalankan, tidak hanya oleh manajemen dengan cara formal tetapi juga informal diantara para anggota organisasi.2  Sementara itu, Peter Monge dan Eric Eisenberg3 melihat teori jaringan sebagai suatu cara  untuk mengintegrasikan tiga tradisi dalam studi organisasi. Pertama tradisi posisional, relasional, dan kultural. 2 Stephen W Littlejohn, Teories of Human Communication ,Thomson Learning,USA. 7th.ed. 2001. 3 ibid..p.282. “Satu-satunya cara yang bermakna untuk mempelajari organisasi adalah sebagai suatu sistem” (Scott, 1961)
Beberapa teori teori organisasi antara lain :




A.   ASUMSI TEORI  KLASIK

      Konsep tentang organisasi telah berkembang mulai 1880-an dan dikenal sebagai teori klasik (classical theory). Dampak teori ini terhadap organisasi masih sangat besar. Sebagai contoh organisasi yg didasarkan birokrasi dan banyak bagian dari teori klasik Menurut teori organisasi klasik, rasionalitas, efisiensi, dan keuntungan ekonomis merupakan tujuan organisasi. Teori ini juga menyatakan bahwa manusia diasumsikan bertindak rasional sehingga secara rasional dengan menaikkan upah, produktivitas akan meningkat.
      Asumsi teori klasik tentang Perspectif Organisasi dipahami sebagai tempat (wadah) berkumpulnya orang-orang yang diikat dalam sebuah aturan-aturan yang tegas  dan melaksanakan kegiatan-kegiatan yang telah terkoordinir secara sistematis dalam sebuah struktur guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

     
      Max Weber dengan konsep birokrasi idealnya menekankan pada konsep otoritas dan kekuasaan yang sah untuk melakukan kontrol kepada pihak lain yang berada di bawahnya sehingga organisasi akan terhindar dari penyalahgunaan kekuasaan dan ketidakefisienan.  Frederick Taylor mengajukan konsep "manajemen ilmiah" yang inti gagasannya adalah "bagaimana cara terbaik untuk melakukan pekerjaan". Untuk ini Taylor membuat standardisasi mulai dari seleksi (rekruitmen) dan penempatan yang menurutnya merupakan sistem hubungan kerja antara manusia dengan mesin sehingga pekerjaan dapat dianalisis secara ilmiah. 
      Henry Fayol mengembangkan teori yang memusatkan perhatiannya pada pemecahan masalah-masalah fungsional kegiatan administrasi. Fayol mengajukan konsep planning, organizing, command, coordination, dan control yang menjadi landasan bagi fungsi dasar manajemen. Fayol juga mengemukakan empat belas prinsip yang sangat fleksibel yang digunakan sebagai dasar bagi manajer dalam mengelola organisasi. Keempat belas prinsip itu adalah pembagian kerja, wewenang dan tanggung jawab, disiplin, kesatuan perintah, kesatuan arah, mengutamakan kepentingan umum, pemberian upah, sentralisasi, rantai perintah, ketertiban, keadilan, kestabilan masa kerja, inisiatif, dan semangat korps. Gagasan Fayol sendiri didukung oleh koleganya di AS yaitu Gulick, Urwick, Mooney dan Reiley.   Menurut James D. Mooney terdapat empat prinsip dasar untuk merancang organisasi, yaitu :
a.      Koordinasi, yang meliputi wewenang, saling melayani, serta perumusan tujuan dan   disiplin.
b.      Prinsip skalar, meliputi prinsip, prospek, dan pengaruh sendiri, tercermin dari kepemimpinan, delegasi dan definisi fungsional.
c.       Prinsip fungsional, yaitu funsionalisme tugas yang berbeda.
d.      Prinsip staf, yaitu kejelasan perbedaan antara staf dan lini Meskipun mendapat banyak kritik yang menganggap bahwa teori-teori klasik itu telah mengabaikan faktor humanistik, deterministik, dan tertutup, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa teori klasik merupakan peletak dasar dari teori-teori organisasi modern.

B.   ASUMSI TEORI MODREN

      Teori mutakhir atau modern merupakan pengembangan aliran hubungan manusiawi sekaligus sebagai pandangan baru tentang perilaku manusia dan sistem sosial. Asumsi modren Tentang perspectif organisasi : Organisasi sebagai sebuah jaringan sistem yang terdiri dari setidak-tidaknya 2 (dua) orang atau lebih dengan kesalingtergantungan, input, proses dan output. Menurut pandangan ini, orang-orang (komunikator) bekerjasama dalam sebuah sistem untuk menghasilkan suatu produk dengan menggunakan energi, informasi dan bahan-bahan dari lingkungan
     
      Proses pengorganisasiaan akan menghasilkan organisasi. Pengorganisasian adalah sebuah proses dan aktivitas/kegiatan. Walaupun organisasi memiliki struktur namun bagaimana organisasi bertindak dan bagaimana organisasi tersebut tampil ditentukan oleh struktur yang ditetapkan oleh pola-pola reguler perilaku yang saling bertautan. (Weick, 1979, hal 90).
      Dalam teori ini konsep manusia yang mewujudkan diri (motivasi manusia) sangat penting bagi manajemen organisasi. Terdapat empat prinsip dasar perilaku organisasi, yaitu:
a.  Manajemen tidak dapat dipandang sebagai proses teknik secara ketat (peranan, prosedur, dan prinsip).
b.  Manajemen harus sistematis dan pendekatan yang digunakan dengan pertimbangan  secara hati-hati.
c.   Organisasi sebagai suatu keseluruhan dan pendekatan manajer individual dalam pengawasan harus sesuai dengansituasi.
d.  Pendekatan motivasional yang menghasilkan komitmen pekerja terhadap tujuan organisasi sangat perlu. Berdasarkan berbagai teori yang dikemukakan, baik teori klasik, teori tradisional, maupun teori mutakhir mengindikasikan bahwa kinerja lembaga atau organisasi sangat ditentukan oleh sistem komunikasi yang diterapkan, baik menyangkut praktik komunikasi, pola pendekatan, media komunikasi, maupun ketersediaan sarana umpan balik. Variabel-variabel tersebut akan menentukan produktivitas kinerja lembaga. Demikian pula dalam praktiknya, kegiatan komunikasi hendaknya memperhatikan beragam bentuk komunikasi, seperti komunikasi ke bawah, komunikasi ke atas, komunikasi horizontal, komunikasi lintas saluran dan komunikasi informal. Semakin kreatif dan variatif organisasi itu menggunakan bentuk komunikasi, maka akan semakin tinggi tingkat produktivitas kinerja lembaga tersebut.











C.   ASUMSI TEORI  PERALIHAN

      Teori tradisional (teori peralihan)  Teori tradisional muncul sebagai reaksi atas konsep-konsep yang dikemukakan oleh para ahli teori klasik meskipun tidak sepenuhnya mengabaikan prinsip-prinsip yang dikemukakan oleh teori klasik. Pendekatan yang dilakukan oleh ahli teori ini adalah pendekatan perilaku atau bahavioral approach (Human Relation Approach). Pendekatan ini dilakukan dengan mengadakan eksperimen yang dikenal dengan Hawthorne Experiment yang secara garis besar dibagi dalam 4 tahap Antara Lain :
a.      Mengkaji efek lingkungan dari produktivitas pekerja
b.      Melakukan konsultasi dengan pekerja yang ikut eksperimen
c.       Melakukan wawancara dengan pekerja (yang tidak ikut eksperimen) melalui pertanyaan terbuka
d.    Eksperimen yang dikenal dengan bank - Wiring - Room Experiment.

Hasil eksperimen tersebut adalah :
-       Sistem sosial para pekerja ikut berperan dalam organisasi formal.
-       Imbalan nonfinansial dan sanksi berperan dalam mengarahkan perilaku pegawai
-       Kelompok ikut berperan dalam menentukan kinerja dan sikap anggota kelompok
-       Munculnya pola kepemimpinan informal.
-       Komunikasi yang makin intensif.
-       Kepuasan dan kenyamanan bekerja meningkat.
-       Pihak manajemen dituntut untuk lebih memahami situasi sosial.

             Experiment Hawthorne menjadi pemicu munculnya beberapa pemikiran baru (yang masih dalam kerangka humanistik). Termasuk munculnya teori sistem yang melihat organisasi sebagai suatu sistem yang memiliki antara lain :
a.    Sub sistem teknis
b.    Sub sistem sosial
c.    Sub sistem kekuasaan.  Kemudian juga muncul teori kontingensi yang dibangun atas dasar prinsip-prinsip yang telah dikembangkan oleh pendekatan sistem. Teori kontingensi ini pada prinsipnya melihat bahwa organisasi harus berlandaskan pada sistem yang terbuka (open system concept)



BAB II
TEORI KOMUNIKASI ORGANISASI


            Kata komunikasi berasal dari bahasa latina “communis” atau “commo” dalam Bahasa Inggris yang berarti sama. Berkomunikasi berarti kita berusaha untuk mencapai kesamaan makna, “commonness”. Manusia dalam kehidupannya adalah makhluk sosial, yang berarti saling membutuhkan orang lain sebagai teman hidup, karena manusia tidak dapat hidup sendirian. Dalam menjalani kehidupannya manusia menempati suatu lingkungan tertentu dan melakukan peranannya masing-masing untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Setiap individu manusia berinteraksi antara satu dengan yang lainnya baik dalam kelompok atau keluarganya maupun dalam masyarakat. Interaksi ini menyebabkan adanya pergaulan antara individu dalam masyarakat (kelompok). Pergaulan individu-individu ini, baik dalam kelompok keluarga maupun dalam masyarakat, semuanya memerlukan keteraturan supaya semua proses yang berlangsung di dalamnya berjalan tertib dan serasi, sehingga dalam masyarakat muncul suatu peraturan yang harus ditaati oleh setiap individu.







            Menurut Goldhaber, komunikasi organisasi merupakan Arus informasi dalam suatu jaringan yg sifat hubungannya saling bergantung  satu sama lain (the flow of message within a network of interdependent relationships), (Djuarsa, 1994:132).
            Organisasi merupakan suatu kumpulan atau sistem individual yang melalui suatu hierarki/jenjang dan pembagian kerja, berupaya mencapai tujuan yang ditetapkan. Manusia di dalam kehidupannya harus berkomunikasi artinya memerlukan orang lain dan membutuhkan kelompok atau masyarakat untuk saling berinteraksi. Hal ini merupakan suatu hakekat bahwa sebagian besar pribadi manusia terbentuk dari hasil integrasi sosial dengan sesama dalam kelompok dan masyarakat. Di dalam kelompok/organisasi terdapat bentuk kepemimpinan yang merupakan masalah penting untuk kelangsungan hidup kelompok, yang terdiri dari pemimpin dan bawahan/karyawan. Di antara kedua belah pihak harus ada two-way-communications h atau komunikasi timbal balik, untuk mencapai cita-

cita, baik cita-cita pribadi, maupun kelompok, untuk mencapai tujuan suatu organisasi.  Hubungan yang terjadi merupakan suatu proses dari suatu keinginan masing-masing individu untuk memperoleh suatu hasil yang nyata dan dapat memberikan manfaat untuk kehidupan yang berkelanjutan. Kehidupan organisasi tidak mungkin dipisahkan dari komunikasi efektif. Komunikasi efektif tergantung pada kemampuannya menjawab dan mengantisipasi perubahan lingkungan luar organisasi sesuai dengan perkembangan internal organisasi itu sendiri. Di samping itu dalam komunikasi didasari beberapa perspektif dalam pengembangannya sehingga berperanan penting dalam organisasi.

A.     PERSPEKTIF YANG MENDASARI KOMUNIKASI ORGANISASI

Dalam suatu organisasi baik yang berorientasi komersial maupun sosial, tindak komunikasi dalam organisasi atau lembaga tersebut akan melibatkan empat fungsi/peranan, yaitu:
1.      Covering Law Theories
Pespektif ini berangkat dari prinsip sebab-akibat atau hubungan kausal. Rumusan umum dari prinsip ini antara lain dicerminkan dalam pernyataan hipotesis. Menurut Dray penjelasan Covering Law Theories didasarkan pada dua asas:
-       Teori berisikan penjelasan yang berdasarkan pada keberlakuan umum/hukum umum.
-       Penjelasan teori berdasarkan analisis keberaturan. Dalam Covering Law Theories terdapat tiga macam penjelasan: